Surakarta – Batik merupakan salah satu warisan kebudayaan Nusantara yang telah ada. Pola batik mempunyai filosofi yang tertuang dalam proses pembuatannya. Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningkrat merupakan salah satu entitas kebudayaan yang memposisikan diri sebagai salah satu pusat dan rujukan batik Karaton. Batik klasik merupakan ragam hias pola yang dibuat dengan metode batik yang muncul dan berkembang di lingkungan karaton, khususnya diwilayah Surakarta Hadiningrat. (16/06/2021)
“Untuk belajar dan membuat Batik Turunan Klasik yang benar-benar original kemungkinan gampang-gampang susah, dikarenakan dalam segi pembuatannya membutuhkan kejelian, ketekunan, dan kesabaran. Dan dalam Batik klasik yang notabene adalah batik keraton yang telah mencapai titik puncak atau tataran yang paripurna.”, ujar Aan Sudarwanto, S. Sn., M. Sn., selaku Ketua Prodi Desain Mode Batik.
Sutriyanto, S. Sn., M. A., Ketua Jurusan Kriya dalam sambutannya memaparkan bahwa, “Batik Klasik termasuk dalam seni tinggi yaitu seni yang diciptakan di istana atau karaton, seiring dengan visi dam misi Institut kita adalah basic kita adalah Kampus Tradisi, kegiatan ini suatu kesempatan yang luar biasa sekali, dimana nanti teman-teman mahasiswa semuanya bisa mengkaji begitu hebatnya nenek moyang kita ketika menciptakan sebuah karya yang luar biasa”
Wakil Dekan III Fakultas Seni Rupa dan Desain, Drs. Agus Ahmadi, M. Sn., menambahkan “Kegiatan ini berjalan dengan baik, terima kasih dan salut kepada panitia yang sudah merancang acara sedemikian rupa, diharapkan untuk kedepannya apapun kegiatan yang berlangsung di FSRD akan selalu dihargai atas kerja kerasnya.”
Sebagai bentuk apresiasi terhadap busana, perlengkapan aksesoris, dan batik Klasik Karaton maka, Mahasiswa Program Studi Desain Mode Batik mengadakan pameran dan Creative Webinar dengan tema “Busana dan Batik Klasik Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat” yang dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 16 sampai 17 Juni 2021 kemarin.
Hari pertama diadakan pameran yang bertempatan di Gedung Sungging Prabangkara, pameran ini memamerkan busana, aksesoris, dan batik dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Hari kedua diadakan Creative Webinar yang dilaksanakan virtual melalui via zoom, youtube, dan instagram dengan pembicara Dra. GKR. Koes Moertiyah Wandansari, M. Pd., selaku Ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta Hadiningrat, Putri Dalem Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan RM. Restu B. Setiawan, S. Pd., M. Pd. selaku Budayawan Karaton Surakarta yang langsung dimoderatori oleh Galih Hady Soemarto, S. Sn., M. Sn. selaku Dosen Program Studi Desain Mode Batik.
Pameran dan Creative Webinar “Busana dan Batik Klasik Karaton Kasunana Surakarta Hadiningrat” mengundang Kaprodi, Kajur, Wakil Dekan III, dosen-dosen dari prodi Desain Mode Batik, alumni, perwakilan dari HIMA FSRD, alumni, dan mahasiswa Prodi Desain Mode Batik.
Pameran dan Creative Webinar “Busana dan Batik Klasik Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat” acara ini bertujuan memberikan edukasi Busana dan Batik Klasik yang ada di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kepada masyarakat umum serta khususnya kalangan akademik dan praktisi bidang batik mode dan terwujudnya kepedulian generasi muda dalam pelestarian seni dan budaya lingkungan sosial dan meningkatkan kreatifitas di era globalisasi.
Pada hari kedua yang diselenggarakannya Creative Webinar yang dilaksanakan selama kurang lebih 2 jam ini, bertempatan di Gedung Raden Sungging Prabangkara, Kampus II Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISI Surakarta. Dengan mengundang dosen-dosen Prodi Desain Mode Batik, alumni, mahasiswa FSRD, dan khususnya semua mahasiswa aktif Prodi Desain Mode Batik (17/06/2021) Kepala Program Studi Desain Mode Batik, Aan Sudarwanto, S. Sn., M. Sn., dalam sambutan acara Creative Webinar “Busana dan Batik Klasik Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat” menjelaskan, “Di dalam program studi Desain Mode Batik, mahasiswa diajarkan mulai dari bagaimana mengenal dan membuat desain tentang batik, kemudian mengaplikasikan menjadi batik dengan berbagai teknik mulai yang paling dasar hingga ke eksplorasi. Namun, tidak berhenti sampai disitu saja, mahasiswa juga diajarkan bagaimana batik itu mempunyai nilai fungsi yaitu menjadi busana yang bisa digunakan oleh masyarakat umum, sehingga di prodi Desain Mode Batik juga diajarkan bagaimana merancang, membuat model busana-busana mulai dari yang sederhana sampai tingkat level yang tinggi. Selanjutnya juga di prodi Desain Mode Batik mahasiswa diajarkan bagaimana produk-produk atau karya yang dihasilkan bisa terserap atau dikenal oleh pasar, bisa digunakan, dan di apresiasi oleh masyarakat umum sehingga banyak mata kuliah penunjang seperti mata kuliah fashion atau adi busana yang kemudian menampilkan karya-karyanya berupa fashion show, kemudian koreografi dan masih banyak sekali hal-hal yang bersifat pengetahuan dan keterampilan. Pada kali ini kami menyelenggarakan Creative Webinar yang bersifat nasional, pendaftarnya kurang lebih sudah 150 peserta, dan alhamdulillah acara semacam ini walaupun baru pertama kali dapat terlaksana secara baik.”
Kemudian dalam sambutan oleh Wakil Dekan III Fakultas Seni Rupa dan Desain, Drs. Agus Ahmadi, M. Sn., menyampaikan bahwa “Dengan adanya acara webinar ini bisa bermanfaat secara lebih luas paling tidak kepada mahasiswa yang sudah mengurusi acara ini juga peserta yang lebih dari 150 peserta dalam zoom. Dengan adanya acara ini juga bisa mendapatkan ilmu yang lebih luas, namanya batik klasik itu sudah mencapai keindahannya, dan motif batik itu luar biasa banyaknya, luar biasa pengembangannya, tidak hanya di kain, namun di kayu, printing dan digitalisasi. Dengan adanya webinar nasional ini semoga saja bisa mendorong kerjasama yang lebih baik antara ISI Surakarta dengan Karaton Surakarta dan kita perlu bersyukur, adanya batik itu karena dulu adanya penghargaan dari UNESCO dan juga mandat dari pemerintah.”
Tidak hanya pembukaan yang disampaikan oleh Ketua Prodi Prodi Desain Mode Batik dan Wakil Dekan III, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISI Surakarta, penyampaian materi oleh pembicara Dra. GKR. Koes Moertiyah Wandansari, M. Pd., selaku Ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta Hadiningrat dan Putri Dalem Sri Sultan Susuhunan Paku Buwono XII mengatakan bahwa “Kita harus paham dan sadar bahwa sebelum Indonesia berdiri, keraton Surakarta itu sebuah pemerintahan atau Negara yang sudah berdiri 200 tahun di kota Surakarta atau desa sala, itu yang harus jadi pijakan bagi para akademisi untuk mempelajari apa saja yang ada di Karaton Surakarta termasuk busana. Busana itu sendiri pasti berhubungan dengan pemerintahan pada waktu itu.”
Beliau juga melihat pakaian yang digunakan para leluhur pada waktu itu kebanyakan semekan dan menggunakan kain lurik. Jadi makin kesini memang disesuaikan dengan kondisi karaton yang bukan lagi sebuah pusat pemerintahan atau pusat politik, karaton sendiri sudah bisa ajur ajer pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan kali ini pastinya beliau memohon dan berharapkan kepada generasi muda atau generasi sekarang dan yang akan datang itu benar-benar paham akan busana atau batik klasik, karena sampai ukuran pakaian itu di karaton Surakarta masih ada dan juga sampai sekarang masih lestari digunakan oleh masyarakat umum yang masih mempergunakan upacara-upacara dalam kehidupan masyarakat seperti motif-motif pada batik yang digunakan dalam upacara tertentu dan pasti punya makna yang diinginkan oleh penciptanya. Seperti truntum yang diciptakan oleh eyang K.R. Beruk, permaisuri Hamengkubuwana ke III. Pada saat menikahkan putrinya dengan harapan agar tumaruntum dalam artian keluarganya menyatu.
RM. Restu B. Setiawan, S. Pd., M. Pd., selaku Budayawan Surakarta “Ketika kita bicara busana Jawa tidak bisa lepas dari batik karena itu adalah satu kesatuan. Budaya busana batik bagi bangsawan di Surakarta itu adalah gaya hidup dan glamouritas, tidak hanya sekedar kelengkapan busana adat yang perlu di pakai dalam kegiatan acara adat dan resmi saja, batik juga bagian dari penghayatan terhadap ajaran leluhur dan memori sejarah masa lalu.”
Dalam pemaparan materi, beliau mengatakan bahwa proses membatik antara dulu dan sekarang itu sudah mengalami pergeseran, karena beliau juga pembatik, batik yang ada di pasar sekarang itu rata-rata memilih praktisnya dengan membeli mori kemudian dipotong dan sekarang itu yang diloyor atau dikemplong itu sudah jarang karena jasa pengloyor dan pengemplong juga sudah jarang. Tetapi beliau menginginkan melestarikan batik tersebut.
Setiap batik yang beliau buat pasti tahap awal adalah memotong mori dulu, kemudian kloyorkan yang berfungsinya untuk menghilangkan kanji yang menempel di pori-pori kain mori tersebut. Setelah itu dihilangkan dengan cara direbus menggunakan minyak kacang kemudian ditiriskan sampai setengah kering lalu di kemplong, yang dimaksud adalah dipukul menggunakan kayu jati besar. Setelah itu di press atau yang disebut membuat pola seperti motif semen, dan lain-lain, tetapi untuk motif parang biasanya hanya garis yang disebut glebagan dan langsung di batik atau rujak. Setelah itu di press kemudian di batik dengan canting klowongan, kemudian diisi dengan cecek, sawut, dan lain-lain. Kemudian diterusi supaya malam yang tidak tambas pada pembatikan pertama tetap rata. Setelah itu nembok dan pengkeliran, kemudian wedel, di lorot dan di kesik yang fungsinya dapat mempertahankan bagian-bagian yang berwarna putih. Kemudian masuk ke tahap babar.
Di Surakarta mempunyai ciri- ciri pada batik itu ada 2, yaitu Babaran Balean dan Babaran Jawi. Babaran Balean pada jaman dulu itu sangat mahal sekali, dikarenakan obat yang digunakan didatangkan langsung dari luar negeri dan sampai saat ini pun belum bisa untuk memproduksi sendiri. Kemudian Babaran Jawi itu berasal dari tumbuhan kayu seperti teger, jelawe, dan lain-lain. Dengan memerlukan waktu mencelup perharinya maksimal 3 kali dan satu kain itu minimal 25 celupan, jadi 1 kain memakan waktu 10 hari. Setelah di babar kemudian disareni dengan tawas atau kapur. Setelah itu dilorot dan dikeringkan dan ditata kemudian didistribusikan. Itu merupakan proses membatik pada jaman dahulu. Jaman sekarang teknologi sudah canggih, batik sudah mulai bisa dicari dengan mudah. Dalam acara berlangsung terdapat sesi tanya jawab dari tamu yang hadir ditempat maupun audiens di zoom.
Pada tahun 1982, Dra. GKR. Koes Moertiyah Wandansari, M. Pd., pernah belajar katalogi untuk naskah yang berisi tentang karya-karya Sunan Kalijaga, yang berisi tentang kehendak beliau yaitu motif sidoluhur dan motif sidomukti, memiliki motif rumah dan setengahnya lar. Yang bermana supaya dalam rumah tangganya mendapatkan ridho dari Allah SWT.
Perbedaan batik Udan Liris dengan Kerno Srimpet, jika motif Udan Liris biasanya digunakan untuk dodot dan untuk Kerno Srimpet beliau menemukan nama dari Kerno Srimpet dengan isen-isennya Udan Liris tetapi bukan Udan Liris. Letrek atau Sengkelat disesuaikan dengan kepangkatan. Putri dalem menggunakan Pinjung Kencong pada sengekelatnya memakail warna hijau atau merah, tetapi jika wayah dalem memakai warna merah muda.
Perihal yang disampaikan RM. Restu B. Setiawan, S. Pd., M. Pd., beskap menjadi popuer setelah era 30an atas ketentuan pepatih abdi dalem. Sinjang yang beliau pakai yaitu motif semen rama latar putih. Dalam latar putih adalah latar ukel, jika dalam dunia perbatikan latar pethak, kemudian cemeng adalah hitam. Kemudian kebetulan beliau RM. Restu B. Setiawan, S. Pd., M. Pd., pada saat menjadi narasumber Creative Webinar ini memakai sabuk bangun tulak yang berwarna biru dan putih, dengan kain bludru polos untuk pangeran dengan bordiran untu walang dengan perpaduan sabuk kindhi terbuat dari kain sutra tetapi jika tidak dari sutra tidak bisa disebut cindhi, sebut saja cindhen. Pada sabuk Jringin, sabuk Pala, sabuk Sekaran diberi epekan polos atau epek dari rikma yang di tenun menjadi epek itu yang berjalan di zaman dahulu. RM. Restu B. Setiawan, S. Pd., M. Pd., juga memakai timang sinom Surakarta, timang sinom terdapat banyak versi Solo contohnya seperti Gandhosan, Olan-olan, Gunungan, Biku Kurung, Biku gendong, Sinom dan semua memiliki makna sendiri-sendiri. Yang menggunakan permata berlian atau inten itu dikatakan Jribrah. Jika tanpa berlian atau tanpa permata itu dikatakan Lugas, selop atau canela, wangkingan, digunakan untuk acara resmi memakai Wangkingan Wadran dan untuk acara tidak resmi memakai Wangkingan Gayam, dan juga Wangkingan Abrit yang hanya dimiliki oleh pangeran.
Kemalu Ijem digunakan untuk Bupati, Kemalu Jambon itu untuk dibawahnya, dan Kemalu itu dari serlak. Dan dalam pemakaian Kemalu tersebut jangan sampai menyamai dengan yang digunakan hari besar para ratu atau para pembesar atau pangeran karaton. Kemalu merah itu di berikan kepada para putra pangeran, itu ada sejarah dan tradisinya ditulis kembali oleh Raden Mas Sayid. Lalu, Ladrang itu untuk mendatangi hari besar ada Ladrang Pakubanan, Ladrang Kadipten, Ladrang kacir, dan Ladrang Capu, contohnya pada Ladrang Capu yang digunakan khusus untuk memakai dodotan, sudah menjadi ketentuan dari Pakubuwono X. Untuk jajaran kebawah, hanya memakai Gelung Tekuk seperti kepunyaaan Karaton Jogja seperti polosan saja. Pemakaian Semyok hanya digunakan oleh putri dalem saja, pada kanan dan kirinya terdapat bangun tulak, terdapat penetep. Daken yang digunakan untuk wayah dalem dan digunakan jika sedang di dalam kamar. Kembali membahas gelung, untuk gelung yang sudah pakai bangun tulak itu hanya digunakan yang sudah menikah, jadi untuk yang belum nikah sama sekali tidak boleh bersentuhan dengan bunga.